Beberapa tahun terakhir, keluhan para pengasuh dan guru pesantren semakin nyaring terdengar: “Mendidik santri sekarang lebih sulit daripada dulu.” Banyak dari mereka merasakan pergeseran signifikan dalam karakter santri yang datang.
Jika dahulu santri dikenal tangguh, siap ditempa dan tahan banting, kini banyak yang cepat menyerah, mudah tersinggung, bahkan ogah-ogahan dalam menunaikan rutinitas ibadah dan ngaji.
Lebih mengherankan lagi, sebagian orang tua justru menjadi pihak yang paling sering mengintervensi proses pendidikan pesantren.
Ini bukan sekadar nostalgia generasi tua yang merasa lebih ‘kuat’. Fenomena ini nyata. Dan dua istilah yang cukup menjelaskan fenomena ini adalah Strawberry Generation dan Strawberry Parents.
Istilah pertama merujuk pada karakter generasi muda yang tampak segar, menarik, dan kreatif, tapi rapuh saat menghadapi tekanan.
Istilah kedua merujuk pada gaya asuh orang tua masa kini yang terlalu memanjakan anak, menghindarkan mereka dari pengalaman sulit, dan cenderung “turun tangan” dalam setiap masalah yang dihadapi anak, bahkan saat di pesantren.
Di masa lalu, para santri terbiasa hidup prihatin. Mereka mencuci baju sendiri, antre air di sumur, makan dengan menu sederhana, dan tidur berdesakan di lantai asrama.
Tapi mereka tetap semangat ngaji, khidmah kepada kiai, dan bahkan merasa bangga hidup dalam kesederhanaan. Mereka tumbuh dalam kultur mujahadah, menahan diri dan memperkuat mental, karena memang pesantren bukan tempat untuk mencari kenyamanan, tapi medan tempur dalam perjuangan ilmu dan akhlak.
Kini, dengan berkembangnya teknologi dan gaya hidup modern, banyak santri yang masuk pesantren membawa ekspektasi layaknya masuk hotel bintang tiga.
Fasilitas dipermasalahkan, kamar yang tidak ber-AC dikeluhkan, makanan yang tidak sesuai selera diadukan.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, saat ustadz menegur karena kesalahan, sebagian santri tidak merasa perlu muhasabah, justru melapor ke orang tua. Tak sedikit dari orang tua yang langsung menyalahkan pesantren, seolah anaknya suci dari kesalahan.
Seorang santri senior di sebuah pesantren ternama di Jawa Timur pernah curhat, “Saya pernah dimarahi kiai di depan teman-teman. Dulu merasa malu dan merasa sangat bersalah, tapi justru itu jadi pelajaran berharga. Santri-santri sekarang, baru ditegur sedikit, langsung ngambek. Kadang malah ancam minta pindah pondok.”
Dari sisi psikologis, perubahan ini bisa dimengerti. Anak-anak hari ini tumbuh di lingkungan yang sangat berbeda. Mereka hidup dalam dunia digital yang serba cepat, instan, dan penuh kenyamanan.
Mereka dibesarkan dalam keluarga yang cenderung demokratis, di mana suara anak sangat didengar—yang tentu baik dalam batas tertentu, tapi bisa berbahaya jika tak dibarengi tanggung jawab dan keteguhan.
Maka ketika mereka masuk pesantren yang serba terbatas, ritmis, dan penuh aturan, terjadi “benturan budaya”.
Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren. Bagaimana bisa pesantren mempertahankan nilai-nilainya yang kokoh, sambil tetap menjawab kebutuhan generasi yang berbeda secara karakter dan kultur?
Ini tidak mudah, tapi sangat mungkin dilakukan. Pesantren harus mulai mengembangkan pendekatan yang tetap memegang prinsip ketegasan, namun lebih komunikatif dan empatik. Tidak melonggarkan nilai, tapi meluaskan cara pendekatan.
Orang tua juga perlu diberi edukasi tentang esensi pendidikan pesantren. Tidak cukup hanya tahu biaya bulanannya, tapi juga harus tahu filosofi di balik tirakat, ketatnya jadwal, dan bahkan kerasnya teguran.
Orang tua harus menyadari bahwa cinta sejati bukanlah menyingkirkan semua duri dari jalan anak, tapi menyiapkan anak untuk bisa menghadapi jalan berduri itu sendiri.
Ikhlas menyerahkan anak ke pesantren artinya percaya pada proses, bukan hanya pada hasil.
Jika fenomena ini terus berlangsung tanpa evaluasi, kita menghadapi risiko jangka panjang yang tidak main-main. Pesantren bisa kehilangan daya bentuknya sebagai kawah candradimuka yang menyiapkan generasi tangguh, bukan hanya penghafal atau pemilik ijazah.
Masyarakat juga akan kehilangan sumber daya manusia yang kokoh secara spiritual dan emosional, yang selama ini banyak lahir dari pesantren.
Perbandingan bisa kita lihat dengan pendidikan modern di luar pesantren yang juga menghadapi tantangan serupa.
Sekolah-sekolah umum juga mulai kewalahan menghadapi siswa yang cepat stres, tidak tahan tekanan akademik, dan sulit fokus karena kecanduan gadget.
Namun pesantren masih punya modal besar: nilai-nilai agama yang kuat, kultur keikhlasan, dan relasi personal antara guru dan murid yang khas. Modal inilah yang harus terus dirawat.
Sudah saatnya kita tidak hanya menyalahkan generasi muda yang dianggap lemah, tapi juga bercermin: bagaimana pola asuh dan gaya hidup kita sebagai orang tua dan masyarakat turut membentuk karakter mereka.
Pendidikan bukan hanya soal mengajar, tapi juga soal membentuk. Dan pembentukan karakter butuh tantangan, keteguhan, dan kesabaran—bukan hanya kenyamanan.
Pesantren tetaplah tempat terbaik untuk menanam benih-benih jiwa yang kuat. Tapi benih itu tak akan tumbuh jika terus dilindungi dari hujan, panas, dan badai. Ia perlu dirawat, tapi juga perlu diuji. Agar kelak tumbuh menjadi pohon yang berakar kuat dan berbuah manfaat.
Maka mari kita jaga pesantren dengan cara menjaga kepercayaan, memperkuat kolaborasi, dan membangun generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga tangguh menghadapi zaman.
