Di tengah ikhtiar besar negara untuk memutus rantai kemiskinan ekstrem melalui jalur pendidikan, hadirnya “Sekolah Rakyat” menjadi satu upaya ambisius yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Dirancang sebagai lembaga pendidikan berasrama dengan kurikulum unggulan dan pembinaan karakter, Sekolah Rakyat disiapkan bukan sekadar sebagai institusi formal, melainkan sebagai proyek perubahan sosial.
Namun, di tengah harapan itu, kita juga mesti jeli membaca kemungkinan dampak sosial-budaya, terutama ketika program ini menyentuh kawasan seperti Kabupaten Jombang—tanah subur tradisi pesantren.
Pesantren di Jombang bukan sekadar lembaga pendidikan; ia adalah struktur sosial, ruang spiritual, dan penjaga nilai-nilai komunitas. Di sinilah letak titik krusial.
Kehadiran Sekolah Rakyat, jika tak disinergikan dengan nilai lokal, berpotensi menggeser peran kultural yang selama ini diemban pesantren.
Pendidikan bagi anak-anak miskin yang selama ini diasuh oleh pesantren, kini beralih dikelola penuh oleh negara melalui skema asrama dengan segala keunggulan fasilitas dan kurikulumnya.
Dislokasi ini, jika tidak dibarengi dengan pendekatan partisipatif, dapat melahirkan ketegangan identitas dan rasa kehilangan otoritas sosial dari komunitas lokal.
Yang lebih halus namun tak kalah penting adalah potensi polarisasi sosial. Bayangkan jika anak-anak dari keluarga miskin yang beruntung masuk Sekolah Rakyat menerima fasilitas dan pengakuan luar biasa, sementara anak-anak lain tetap di sekolah desa atau madrasah dengan segala keterbatasannya.
Akan muncul kelas baru di dalam kelompok miskin itu sendiri: anak miskin unggulan dan anak miskin biasa. Kecemburuan, ketimpangan emosional, bahkan sikap eksklusif bisa tumbuh tanpa disadari.
Negara juga mengambil alih pembentukan karakter yang sebelumnya menjadi domain sosial-komunitas. Jika nilai-nilai karakter seperti religiusitas, kesopanan, dan kepemimpinan moral yang selama ini ditanamkan melalui tradisi pesantren tidak diakomodasi dengan cermat, kita akan menyaksikan generasi yang cerdas secara akademis tetapi asing terhadap akar budayanya sendiri.
Tak hanya itu, sistem asrama juga membawa persoalan baru: keterpisahan anak dari keluarga dalam jangka panjang. Dalam tradisi Jawa dan pesantren, keluarga bukan sekadar institusi biologis, melainkan pusat transmisi nilai.
Ketika anak-anak miskin yang masuk asrama terlalu lama jauh dari desa dan orang tuanya, mereka bisa kehilangan ikatan kultural yang justru menjadi modal sosial paling penting.
Namun, semua potensi ancaman itu bukan tak bisa diatasi. Jalan terbaik bukanlah menolak, melainkan membentuk jembatan. Pesantren harus dilibatkan sejak awal—bukan sekadar sebagai pelengkap, tetapi sebagai mitra sejajar.
Kurikulum karakter Sekolah Rakyat harus diwarnai nilai-nilai pesantren: adab, keikhlasan, kesederhanaan, serta semangat khidmah.
Tenaga pendidik bisa berasal dari alumni pesantren yang telah teruji oleh waktu dan pengalaman. Bahkan kegiatan ekstrakurikuler bisa diintegrasikan dengan halaqah, qira’ah kitab, atau kerja sosial di lingkungan pesantren.
Sebagaimana pesantren dan republik ini pernah tumbuh bersama dalam sejarah perjuangan, maka Sekolah Rakyat pun harus tumbuh dalam harmoni dengan tradisi pesantren.
Negara harus hadir, bukan untuk menggantikan komunitas, tapi untuk memperkuatnya. Maka, Sekolah Rakyat bukan menjadi simbol pemisahan antara negara dan rakyat, melainkan jembatan menuju masyarakat yang lebih adil, cerdas, dan tetap berakar.
Ditulis untuk menjadi refleksi bersama para pengambil kebijakan, tokoh pesantren, dan pemangku kepentingan di Jombang dan Indonesia.
Muhammad Ainur Rifqi
Khodam PCNU Jombang
