Menuntut Ilmu di Era Digital: Menjaga Keseimbangan antara Lautan Informasi dan Keterbatasan Akal

Era digital telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja untuk mengakses ilmu. Kitab klasik tersedia dalam format PDF, diskusi keislaman bisa ditonton dari layar ponsel, bahkan ulama dari berbagai belahan dunia bisa kita “dengar” langsung tanpa harus hadir di majelisnya.

Semua terasa mudah, cepat, dan menjanjikan. Namun, justru dalam kemudahan itulah tersembunyi tantangan besar, terutama bagi para santri—penuntut ilmu agama—yang sedang meniti jalan mencari kebenaran.

Imam al-Ghazali, ulama besar yang warisannya tetap hidup di dunia keilmuan Islam, memberikan nasihat berharga tentang adab menuntut ilmu.

Di awal perjalanan, kata beliau, seorang penuntut ilmu harus menjauh dari hiruk-pikuk perbedaan pendapat yang belum mampu ia cerna. Dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, beliau menulis:

أن يحترز الخائض في العلم في مبدإ الأمر عن الإضغاء إلى اختلاف الناس سواء كان ما خاض فيه من علوم الدنيا أو من علوم الآخرة، فإن ذلك يدهش عقله ويحير ذهنه ويفتر رأيه ويؤيسه عن الإدراك والاطلاع

“Sang penuntut ilmu harus berhati-hati di permulaan perjalanan dari terlalu banyak mendengar perbedaan pendapat, karena itu akan membuat akalnya bingung, pikirannya lemah, dan menjadikannya putus asa dalam memahami dan menyelami ilmu.”

Bayangkan seorang santri yang baru mulai belajar fiqih tiba-tiba menonton debat panas antara penganut mazhab yang berbeda, atau menyimak perdebatan teologi yang tidak ia pahami.

Alih-alih tercerahkan, ia justru menjadi ragu, bingung, bahkan kehilangan semangat belajar. Al-Ghazali menyarankan pendekatan yang jauh lebih bijak:

بل ينبغي أن يتقن أولا الطريق الحميدة الواحدة المرضية عند أستاذه، ثم بعد ذلك يصغي إلى المذاهب والشبه

“Seyogianya ia mengokohkan terlebih dahulu satu jalan yang lurus dan diridhai di bawah bimbingan gurunya, baru setelah itu ia mempelajari berbagai mazhab dan syubhat.”

Dengan kata lain, ilmu itu bukan untuk dikejar secara liar dan bebas, tapi harus ditapaki secara tertib dan bertahap. Belajar itu seperti membangun rumah—tak mungkin memulai dari atap.

Maka seorang santri harus memulai dari fondasi: satu disiplin ilmu, satu pendekatan mazhab, satu guru yang terpercaya. Barulah kemudian ia melangkah ke tahap perbandingan, perenungan, dan pengembangan.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana seorang santri menyikapi fenomena kewalian dan karomah yang belakangan ini juga sering diperdebatkan di media-media sosial.

Sebagian kalangan ada yang bersikap sinis dan menolak kisah karomah para wali, seakan-akan semuanya adalah mitos dan bertentangan dengan akal sehat.

Di sisi lain, tak sedikit pula yang dengan mudah percaya pada tokoh yang mengklaim dirinya wali hanya karena viral, memiliki penampilan “unik”, khāriqul ‘ādat atau memperlihatkan keanehan yang dipoles dengan narasi spiritual.

Imam al-Ghazali dengan gaya bahasanya yang khas mengingatkan tentang jebakan meniru ahli hakikat sebelum waktunya. Ia mengutip kalam sebagian ulama hakikat:

من رآني في البداية صار صديقاً، ومن رآني في النهاية صار زنديقاً

“Barang siapa melihatku saat awal suluk, ia akan menjadi orang ṣiddīq. Tapi barang siapa melihatku di akhir perjalanan, ia menjadi zindīq.”

Bagi orang awam, melihat wali —yang benar-benar wali—yang tampak “longgar” dalam ibadah lahiriah bisa menimbulkan kesan salah.

Padahal, mereka telah tenggelam dalam ibadah batin yang lebih tinggi nilainya. Meniru mereka secara lahiriah tanpa pemahaman dan proses akan menjadikan seseorang sesat, bukan tercerahkan.

Di sinilah santri perlu tampil sebagai penjaga keseimbangan. Di satu sisi, tidak sinis terhadap karomah yang memang diakui dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Di sisi lain, tidak gampang percaya terhadap klaim-klaim yang tidak punya dasar sanad keilmuan maupun akhlak yang kokoh. Apalagi di zaman algoritma ini, keviralan bukan lagi indikator kebenaran.

Nasihat al-Ghazali berikut menjadi sangat penting:

فلا يصلح الأعمى لقود العميان وإرشادهم، ومن هذا حاله يعد في عمى الحيرة وتيه الجهل

“Orang buta tidak pantas memimpin orang buta lain. Siapa yang seperti ini, ia hanyalah dalam buta kebingungan dan sesat dalam kejahilan.”

Betapa banyak hari ini orang yang baru belajar sepotong ilmu agama, langsung merasa layak berfatwa di media sosial.

Mereka berbicara seolah-olah ahli, menghakimi dengan ringan, dan membawa banyak orang pada kesalahpahaman.

Santri sejati tahu bahwa ilmu itu amanah besar. Ia tidak tergesa-gesa bicara, tidak mudah menyesatkan orang lain, dan selalu menyandarkan pemahamannya kepada para guru yang terpercaya.

Penutup nasihat Imam al-Ghazali layak menjadi renungan setiap santri:

تشبه الضعيف بالقوي فيما يرى من ظاهره أنه هفوة، يضاهي اعتذار من يلقى نجاسة يسيرة في كوز ماء ويتعلل بأن أضعاف هذه النجاسة قد يلقى في البحر، والبحر أعظم من الكوز، فما جاز للبحر فهو للكوز أجوز

“Orang lemah yang meniru orang kuat dalam hal yang tampaknya kesalahan, seperti orang yang menjatuhkan najis ke dalam gelas lalu berdalih bahwa laut juga bisa menampung najis yang lebih besar. Padahal, apa yang bisa ditoleransi laut, tak bisa ditoleransi oleh gelas kecil.”

Santri hari ini, dengan segala kemudahan akses ilmunya, tetap harus menyadari bahwa dirinya belum seluas lautan. Ia masih ibarat gelas kecil yang harus dijaga isinya agar tetap jernih.

Maka jangan terburu-buru meniru orang yang sudah berderajat wali, jangan asal menyimpulkan hukum, dan jangan tergoda untuk menjadi “kiai” sebelum waktunya.

Santri yang baik adalah penjaga warasnya ilmu dan adab di tengah kegaduhan zaman. Ia belajar bukan sekadar untuk tahu, tapi untuk tumbuh.

Ia diam bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu kapan waktunya bicara. Dan ia tawadhu bukan karena lemah, tapi karena tahu betapa beratnya tanggung jawab di balik ilmu yang hakiki.

Muhammad Ainur Rifqi
Khodam PCNU Jombang
Dosen Ma’had Aly Darul Ulum Jombang

Penulis: Muhammad Ainur RifqiEditor: Mustain
Exit mobile version