Jombang, pcnujombang.or.id – Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, dengan kekuatan tradisi, akar budaya lokal, dan khazanah pesantren yang kaya. Lantas, Bagaimana cara membangun dan memajukannya di era sekarang ? Mungkin sejenak kita bisa belajar dari filosofi permainan sepak bola Jepang.
Filosofi Jepang: Kekuatan Tradisi, Kedisiplinan, Kolektivitas-kolaboratif, dan Kaizen
Sepakbola Jepang bukanlah tentang bintang individual. Mereka bukan Brasil yang penuh magis atau Argentina yang sarat talenta instan. Jepang membangun kekuatan mereka dengan empat prinsip utama: Kekuatan Tradisi, kedisiplinan, kolektifitas-kolaboratif dan bertahap (kaizen).
Setelah kekalahan memalukan di kualifikasi Piala Dunia 1994, Jepang tak menyalahkan siapa pun. Mereka membangun akar. Mereka mendirikan J-League, memperkuat infrastruktur sepakbola akar rumput, dan mengirim pemain mudanya ke Eropa. Dua dekade kemudian, Jepang menjadi kekuatan stabil Asia. Mereka tidak instan, tapi pasti.
Strategi NU Membangun Masa Depan
NU hari ini menghadapi tantangan mirip seperti Jepang pasca-1994: dunia berubah cepat, generasi muda mulai terlepas dari akar, dan rival ideologis lebih gesit menggunakan teknologi. NU tidak kekurangan sumber daya manusia, tapi kadang terjebak dalam nostalgia kejayaan masa lalu.
Jika ingin menjadi kekuatan global Islam moderat yang relevan, NU perlu belajar dari filosofi Jepang.
1. Membangun dari Akar untuk Masa Depan
NU harus serius membina generasi muda sejak dini—bukan hanya dalam fiqih, tapi juga dalam digitalisasi, ekonomi kreatif, dan diplomasi budaya. Pesantren bisa menjadi “akademi sepakbola” ala Jepang: tempat menempa intelektual-ideolog yang siap tampil di pentas nasional dan internasional, bukan hanya menjadi penjaga tradisi, tapi juga inovator warisan.
Dalam Kaidah Fiqhiyyah :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Sesuatu yang menjadi sarana untuk menunaikan kewajiban, maka hukumnya juga wajib.”
Artinya, membina generasi muda saat ini menjadi kewajiban bersama untuk membangun masa depan NU yang lebih baik. Oleh karena itu, pembinaan ini menjadi wasail yang wajib dilakukan untuk mencapai maqashid NU, yakni merawat jagad, membangun peradaban.
2. Kedisiplinan Kultural dan Organisasi
Jepang tidak mengenal bintang lapangan yang bebas melakukan apapun. Semua tunduk pada sistem. NU perlu membangun budaya organisasi yang disiplin dan meritokratis, bukan relasional atau patron-klien. Pengurus NU, dari pusat hingga ranting, harus menginternalisasi budaya kerja yang transparan, akuntabel, dan produktif.
3. Kolektivitas dan Kerja Tim: NU Bukan Panggung Personal
Filosofi sepakbola Jepang menekankan kolaborasi. Salah satu kekuatan utama sepakbola Jepang adalah kemampuannya berkolaborasi lintas latar belakang: antara pelatih lokal dan asing, pemain senior dan junior, serta federasi dan komunitas.
NU harus kembali menata ruang agar tidak menjadi panggung personal atau elite eksklusif, melainkan arena kolektif di mana setiap kader merasa memiliki, terlibat, dan berdaya. Maka perlu membangun antara PBNU, PWNU, PCNU, hingga badan otonom dan pesantren-pesantren. Bahkan lebih jauh, kolaborasi dengan masyarakat sipil, perguruan tinggi, dan komunitas internasional adalah keniscayaan di era global.
Oleh karena itu, meredam berbagai konflik kepentingan dan perbedaan di internal tubuh NU menjadi sebuah keharusan. Masing-masing kelompok harus menurunkan ego, agar tidak membuat kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Mendahulukan Kemashlahatan yang umum daripada kemashlahatan kelompok harus menjadi perhatian bersama.
Dalam kaidah fiqhiyyah :
المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة
“Kemaslahatan umum harus didahulukan atas kepentingan pribadi.”
4. Strategi Bertahap: Kaizen NU
Transformasi NU tidak bisa instan. Tapi harus konsisten. Program digitalisasi pesantren, pemberdayaan ekonomi warga NU, hingga perluasan jaringan internasional—semua harus berjalan dengan prinsip kaizen (perbaikan berkelanjutan). Bukan proyek gebyar, tapi gerakan yang pelan tapi tak henti.
Saat ini, untuk menaklukkan tantangan global, NU harus berani menanggalkan romantisme struktural dan mulai belajar membangun dari bawah, dengan sabar, sistematis, dan kolaboratif. Maka, sepatutnya NU teruslah belajar, meskipun harus dengan organisasi yang berbeda . Justru, NU akan menemukan wajah baru Islam Nusantara yang tangguh, disiplin, dan membumi, tapi sekaligus siap mendunia.














