Tradisi Kupatan Setelah Hari Raya Idul Fitri : Penting atau tidak ?

Jombang, pcnujombang.or.id – Tradisi Kupatan setelah Hari Raya Idul Fitri dalam masyarakat Islam Nusantara memiliki makna penting dan mendalam. Namun, tidak banyak masyarakat yang memahami tradisi kupatan ini dengan benar. Sehingga terkesan hanya seremonial semata.Oleh karena itu, tokoh masyarakat maupun ulama setempat sebaiknya pada momen tersebut, bisa memberikan edukasi tentang pentingnya tradisi kupatan.

5 Alasan Tradisi Kupatan itu Penting

Dalam hal ini, ada beberapa alasan, mengapa tradisi kupatan ini penting.

1. Menyempurnakan Ibadah Ramadan dengan Puasa Syawal

Salah satu alasan utama adanya Kupatan adalah sebagai bentuk perayaan setelah menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam Islam, puasa Syawal memiliki keutamaan besar. Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضانَ ثُمَّ أَتَبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كانَ كصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa berpuasa Ramadan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim No. 1164)

Tradisi Kupatan menjadi simbol kesempurnaan ibadah setelah Ramadan, yakni dengan puasa di bualan syawal. Hal ini mengajarkan bahwa perjuangan spiritual tidak berakhir di Hari Raya, tetapi terus berlanjut dengan ibadah sunnah.

2. Mempererat Silaturahmi dan Saling Memaafkan

Meskipun Hari Raya Idulfitri sudah menjadi momen saling memaafkan, Kupatan memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang belum sempat bersilaturahmi. Dalam budaya Jawa dan Islam, menjaga tali persaudaraan sangat penting. Rasulullah Saw bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. اي قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi.”(HR. Bukhari No. 5984, Muslim No. 2556)

Melalui tradisi berbagi ketupat dan lepet, masyarakat bisa kembali berkumpul, memperkuat hubungan persaudaraan dan sosial, serta menumbuhkan rasa kebersamaan.

3. Menumbuhkan Jiwa Sosial dan Kebersamaan

Kupatan bukan hanya sekadar makan ketupat bersama, tetapi juga ajang berbagi rezeki. Masyarakat saling berbagi ketupat dan lepet, baik kepada tetangga, kerabat, bahkan orang-orang yang membutuhkan. Ini mencerminkan ajaran Islam tentang berbagi dan kepedulian sosial. Allah SWT berfirman:

Baca Juga  Tadarus Seni Budaya Islam: Kolaborasi Ulama, Seniman, Budayawan, dan Akademisi Jombang

وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan: 8)

Dengan adanya tradisi ini, masyarakat sepatutnya untuk terus bersyukur atas rezeki yang Allah Swt berikan kepada hamba-Nya. Dan wujud rasa syukur itu dengan berbagi kepada sesama.Terutama, bagi orang-orang yang membutuhkan.

4. Simbol Pembersihan Diri dan Pengakuan Kesalahan

Dalam bahasa Jawa, ketupat singkatan dari “ngaku lepat”, yang berarti mengakui kesalahan. Tradisi ini mengajarkan bahwa manusia tidak luput dari dosa dan harus selalu meminta maaf serta memperbaiki hubungan dengan sesama. Allah Berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr : 18)

Kupatan menjadi simbol lanjutan dari Idulfitri, bagaimana seseorang selalu muhasabah dalam setiap waktu. Dan yang penting juga adalah bagaimana selalu menjaga dan memperbaiki hubungan antar sesama.

5. Menjaga Tradisi Budaya Islam Nusantara

Kupatan merupakan bagian dari akulturasi budaya Islam dan tradisi lokal yang oleh Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga sebagai pelopornya. Dengan menjaga tradisi ini, masyarakat dapat terus melestarikan nilai-nilai Islam dalam berbagai bentuk kegiatan di masyarakat. khususnya, pada tradisi Kupatan.

Tradisi yang baik di tengah-tengah masyarakat, menurut para ulama Ushūl Fiqh menegaskan dalam kaidahnya :

اَلأَصْلُ فِي اْلعَادَاتِ الإبَاحَةُ إلاَّ مَا وَرَدَ عَنِ الشَّارِعِ تَحْرِيْمُهُ

“Hukum asal dalam tradisi adalah boleh kecuali ada teks agama yang mengharamkannya.” (Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di, Risālah Lathīfah fi Ushūl al-Fiqh, Dar Ibnu Hazm, cet. ke-1, Beirut: Lebanon, tahun 1997 M/1418 H, hal. 13)

Dari sini, Keberadaan tradisi kupatan ini juga menjadi bukti bahwa Islam di Nusantara berkembang dengan pendekatan budaya yang mempererat harmoni sosial tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman. Dan kita sebagai generasi muslim yang cinta tradisi yang baik, sepatutnya terus menjaga dan merawat tradisi ini dengan sebaik-baiknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *