Kepemimpinan NU di Era Artificial Intelligence: Menjaga Keotentikan di Tengah Kecanggihan

Jombang, pcnujombang.or.id – Di tengah era Artificial Intelligence (AI) yang melaju cepat, kepemimpinan menghadapi ujian besar. Tak hanya dituntut untuk cerdas secara digital, pemimpin hari ini harus mampu menjaga jati diri, integritas nilai, dan keotentikan nurani. Di sinilah peran Nahdlatul Ulama (NU) menjadi penting: bukan hanya sebagai ormas Islam terbesar, tetapi sebagai penjaga kepemimpinan otentik berbasis spiritualitas, intelektualitas, dan kearifan lokal.

Kepemimpinan Das Man vs Dasein

Banyak pemimpin saat ini tergoda untuk menjadi “cepat dan viral”, tapi melupakan nilai dan akhlak. Mereka cenderung menjadi bagian dari “Das Man” yakni sebuah istilah dari filsuf Martin Heidegger yang merujuk pada sikap manusia yang kehilangan keaslian dirinya karena larut dalam ekspektasi sosial.

Sebaliknya, Heidegger mengajukan konsep “Dasein” yakni manusia yang sadar akan eksistensinya, bertanggung jawab, dan hadir secara utuh di dunia. Pemimpin Dasein adalah mereka yang tidak sekadar mengikuti tren, tapi berani menjadi kompas nilai, bahkan di tengah badai teknologi.

Pemimpin Dasein hadir dari hati, berpikir dari ilmu, dan bergerak dari akhlak. Algoritma tak mampu mengendalikannya, hanya amanah yang mampu ada pada dirinya.

NU dan Warisan Kepemimpinan Otentik

NU telah melahirkan model kepemimpinan yang tidak hanya Ori, tapi juga berakar dalam sejarah dan spiritualitas. Tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, hingga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah contoh pemimpin yang tidak kehilangan arah dalam perubahan zaman.

Gus Dur, misalnya, tak hanya berpikir cepat, tapi berpikir dalam. Ia menolak politik kekuasaan yang kosong nilai, dan tetap berdiri sebagai pemimpin spiritual meskipun dicemooh elite. Inilah kepemimpinan NU yang tidak artifisial: berani berbeda, berani membela nilai.

Baca Juga  PCNU Jombang Studi ke Sragen, Peroleh Wawasan Tentang Membangun Jamaah, Jamiyah dan I'anah

PMKNU: Kaderisasi Nilai atau Seremonial Digital?

Di berbagai wilayah, NU telah mengembangkan berbagai instrumen kaderisasi, salah satunya PMKNU (Pendidikan Menengah Kepemimpinan NU). Program ini sejatinya dimaksudkan sebagai ruang pembibitan pemimpin NU masa depan yang tidak hanya memahami struktur, tetapi juga meresapi ruh jam’iyyah.

Namun dalam praktiknya, PMKNU dihadapkan pada tantangan besar: apakah kaderisasi ini benar-benar melahirkan pemimpin yang Dasein? Ataukah hanya menelurkan lulusan bersertifikat tanpa penghayatan?

Tantangan PMKNU bukan hanya soal kelengkapan administrasi, tapi soal keberanian mencetak pemimpin yang otentik, tidak sekadar lolos materi, tetapi lulus secara ruhani, akhlak, dan tanggung jawab jam’iyyah.

Era AI menuntut kaderisasi yang lebih dari sekadar hafalan materi. Ia menuntut pembentukan watak, kejujuran berpikir, dan keikhlasan bertindak. Maka jika PMKNU ingin berhasil, ia harus menjadi ruang yang memanusiakan calon pemimpin, bukan memformat mereka seperti mesin. Dalam kaidah Fiqhiyyah :

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus selalu terikat pada kemaslahatan.”

Setiap kebijakan dalam PMKNU, termasuk pengambilan keputusan tentang kaderisasi, evaluasi kelulusan, hingga metode pelatihan, harus berorientasi pada kemaslahatan umat dan jam’iyyah, bukan semata-mata prosedur atau “standar nasional” yang kering dari nilai.

Bahaya Pemimpin Artifisial

AI menawarkan kemudahan dalam pengambilan keputusan berbasis data. Tapi ada bahaya tersembunyi: pemimpin yang kehilangan jiwa. Mereka bisa canggih secara teknis, tapi hampa secara moral. NU harus mencegah lahirnya pemimpin model ini: algoritmik, mekanik, dan jauh dari nurani.

Pemimpin NU bukan produk mesin. Ia lahir dari pesantren, dari tirakat, dari ilmu, dari doa, dan dari cinta kepada umat. Dan inilah beberapa karakter pemimpin NU di era AI :

  1. Otentik (Asli dari akarnya) – tidak ikut-ikutan, punya dasar nilai dan visi.
  2. Visioner (melampaui zaman) – bukan hanya menyelesaikan masalah hari ini, tapi menyiapkan arah masa depan.
  3. Berbasis ilmu dan akhlak – tidak memisahkan pengetahuan dari kebijaksanaan.
  4. Adaptif terhadap teknologi, tapi tidak dikendalikan olehnya.
  5. Berjiwa Dasein – sadar tanggung jawab eksistensial sebagai hamba dan khalifah.
Baca Juga  Hardiknas: Merayakan Lantas Melupakan

Menjaga Nurani di Tengah Neural Network

Mesin mungkin bisa membaca pola, tapi tidak bisa membaca nurani. AI bisa membuat keputusan cepat, tapi tidak bisa mengambil keputusan yang adil dengan cinta. Karena itu, NU tidak boleh sekadar mencetak kader yang melek teknologi, tapi juga berjiwa langit dan berpijak pada bumi. Menjadi pemimpin NU di era AI bukan sekadar soal kompetensi digital, tapi tentang kesanggupan untuk tetap menjadi manusia yang utuh, jujur, dan Rahmatan lil ‘Alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *