Menakar Ketahanan Moral di Tengah Badai Narasi Digital
Jombang, pcnujombang.or.id — Belakangan ini, pesantren kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasi atau kiprahnya yang luar biasa, melainkan karena derasnya pemberitaan yang memotret dunia pesantren secara sepihak.
Sejumlah media menggiring opini dengan tuduhan yang tak berdasar. Sementara di ruang digital, ribuan komentar berseliweran tanpa pemahaman memadai. Pesantren seakan ditempatkan di kursi terdakwa, diserang tanpa diberi kesempatan menjelaskan diri.
Namun satu hal pasti: pesantren bukan hanya lembaga pendidikan. Ia adalah benteng moral bangsa dan medan pertempuran narasi di tengah derasnya arus digitalisasi.
Stigma Halus yang Menyakitkan
Serangan terhadap pesantren sering tidak datang dalam bentuk kekerasan fisik, melainkan melalui stigma yang halus namun menyakitkan.
Label lama seperti “pesantren anti-teknologi,” “sarang radikalisme,” atau “santri tak siap menghadapi modernitas” masih mudah ditemukan di ruang publik.
Padahal kenyataan di lapangan sangat berbeda. Banyak pesantren kini mengelola media digital, membangun ekonomi kreatif, dan merintis startup sosial. Santri menulis berita, membuat aplikasi, hingga memimpin riset teknologi.
Namun stigma bekerja perlahan seperti racun. Ia merusak kepercayaan masyarakat dan membuat sebagian santri kehilangan kebanggaan terhadap identitasnya. Serangan ini bukan sekadar kritik, tapi upaya melemahkan kepercayaan publik terhadap pesantren.
Pesantren memilih tidak membalas dengan amarah. Cara terbaik adalah memperkuat bukti—membangun inovasi, memperluas kolaborasi, dan menunjukkan bahwa Islam Nusantara bisa berjalan beriringan dengan kemajuan zaman.
Disinformasi: Senjata Baru di Era Digital
Di era digital, kebohongan melaju lebih cepat daripada kebenaran. Satu potongan video tanpa konteks mampu menghancurkan reputasi pesantren yang dibangun puluhan tahun.
Akun anonim dan media abal-abal sengaja menyebarkan disinformasi. Mereka mengangkat satu kasus individu, lalu menggiringnya menjadi citra pesantren secara keseluruhan. Narasi provokatif mereka memancing emosi publik agar mudah menghakimi.
Akibatnya, masyarakat kehilangan kemampuan membedakan antara kesalahan personal dan karakter kelembagaan. Disinformasi seperti ini menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan dan menimbulkan luka sosial yang mendalam.
Pesantren tidak boleh diam. Ia harus tampil di ruang digital, bukan sebagai pihak yang diserang, tapi sebagai penjaga moral publik dan penyebar kebenaran.
Menemukan Hikmah di Tengah Badai
Setiap serangan membawa pelajaran. Setiap fitnah membuka ruang refleksi. Itulah cara pesantren memaknai badai narasi negatif.
Musibah runtuhnya musholla di Pesantren Al-Khozini Sidoarjo (29/09/2025) menjadi contoh nyata. Setelah kejadian itu, pemerintah mulai memperhatikan standar keselamatan dan konstruksi bangunan di berbagai pesantren. Musibah menjadi hikmah, dan perhatian negara pun tumbuh.
Demikian juga kasus framing negatif oleh salah satu stasiun televisi nasional (14/10/2025). Serangan itu justru menyatukan pesantren, membangkitkan solidaritas, dan mendorong negara bertindak.
Melalui Surat Presiden Nomor B-617/M/D-1/HK.03.00/10/2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi memerintahkan pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren (Ditjen Pesantren) di bawah Kementerian Agama.
Bagi kalangan pesantren, keputusan itu bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan bentuk penghormatan negara terhadap eksistensi dan jasa pesantren bagi bangsa.
Momentum Hari Santri pun terasa istimewa. Di tengah luka akibat pemberitaan negatif, muncul semangat baru: pesantren bersatu menjaga marwah kiai dan kehormatan lembaga. Dari NU hingga masyarakat akar rumput, semua kompak menolak narasi sesat yang merendahkan pesantren.
Pesantren: Dari Korban Narasi menjadi Produsen Kebenaran
Pesantren kini tidak cukup hanya bertahan. Ia harus bangkit menjadi produsen narasi kebenaran.
Para kiai dan santri perlu meningkatkan literasi digital, menumbuhkan nalar kritis, dan mengasah kemampuan bercerita dengan gaya yang komunikatif. Pesantren harus menulis, mendokumentasikan, dan menyebarkan kisah inspiratif tentang dunia mereka sendiri.
Sudah saatnya pesantren memiliki media digital pesantren yang menyajikan konten edukatif dan inspiratif. Pelatihan literasi media bagi santri dan guru juga penting agar mereka mampu mengenali dan melawan berita palsu.
Kolaborasi dengan akademisi dan jurnalis independen menjadi langkah strategis berikutnya. Dengan itu, pesantren tidak lagi menjadi korban narasi, tetapi penentu arah percakapan publik.
Pesantren menjadi Sumber Moral
Serangan terhadap pesantren membuktikan satu hal: pesantren masih punya pengaruh moral dan sosial yang besar.
Fitnah boleh berkobar, tapi api itu justru menyalakan semangat untuk berbenah, bangkit, dan bersinar lebih terang. Doa para kiai yang terucap dalam keheningan malam jauh lebih kuat daripada hiruk pikuk opini di dunia maya.
Dunia boleh berubah, tapi pesantren akan tetap berdiri — menjadi sumber ketenangan di tengah kegaduhan zaman.














