Jombang, pcnujombang.or.id – Lebaran telah usai, Takbir telah reda, Tapi gema silaturahmi belum padam. Di berbagai pelosok negeri, satu tradisi khas Indonesia menggema kembali : Halal bi Halal. Sebuah budaya yang sarat makna, menyambung hati, menjahit luka, dan menebar maaf. Sayangnya, di tengah gemerlap zaman, esensi tradisi ini kadang bergeser. Dari yang semula sarana menyatukan, menjadi ajang unjuk pencapaian. Dari silaturahmi, menjadi “selfie-ria”. Lantas, masihkah halal bihalal setia pada ruh aslinya?
Awal Tradisi Halal bi Halal
Tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, melainkan juga jejak sejarah yang cerdas. KH. Wahab Chasbullah memperkenalkan halal bihalal secara nasional, dan Presiden Soekarno meresmikannya pasca-Ramadhan 1948. Mereka mencetuskan tradisi ini untuk menjembatani panasnya situasi politik saat itu.
Tujuannya sederhana yakni mengumpulkan para elite, mencairkan suasana, dan menyatukan bangsa. Sejak saat itu, masyarakat pun menjadikan halal bihalal sebagai tradisi tahunan yang mempererat, bukan memisahkan.
Di balik istilah Arab-nya, halal bihalal adalah budaya yang sangat nusantara. Ia membumi di kalangan keluarga, kantor, pesantren, hingga istana. Setiap daerah mempunyai ciri khas masing-masing. Semuanya bernilai sama yakni membuka hati dan menutup dendam.
Namun belakangan, tradisi ini mulai beralih pada hal-hal yang kurang baik. Dress code seragam, venue mewah, dokumentasi berlebihan, hingga postingan “caption bijak” yang lebih panjang dari pelukannya. Tradisi ini kadang bergeser dari “menyapa hati” menjadi “menjaga gengsi”.
Halal bi Halal dalam Islam
Meskipun istilah “halal bihalal” tidak secara eksplisit ada dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Namun, esensi dari praktik ini sangat islami. Allah Swt berfirman :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
“Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (Q.S. Al A’raf : 199)
Rasulullah SAW bersabda:
الْعَفُوْ أَحَقُّ مَا عُمِلَ بِهِ
Artinya: “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) untuk dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadits nomor 5696)
Makna “Halal bi Halal”
Dalam susunannya, Halal Bi Halal terdapat pengulangan kata yang sama. Maka keduanya jelas memiliki makna yang berbeda Halal (pertama) dan Halal (kedua). Ini berarti saling berhadapan, Halal pertama berhadapan dengan Halal kedua.
Halal yang pertama adalah halal yang saya lakukan yang menyangkut kesalahan saya kepada anda. Sementara, Halal yang kedua adalah Halal yang anda lakukan yang menyangkut kesalahan anda kepada saya. Maka dari sini, kita perlu saling memaafkan dari kedua belah pihak. Sehingga sudah tidak ada lagi dendam atau dengki antara keduanya.

Halal bi Halal sebagai Sarana Islah
Dalam Islam, inti halal bihalal jelas adalah islah, yaitu memperbaiki hubungan. Rasulullah SAW bersabda:
عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ: لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ (مُتَّفَقٌ عليهِ)
Dari Abū Ayyub radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh ﷺ berkata, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih dari 3 malam (yaitu 3 hari). Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.” (Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)
Artinya, Halal bihalal menjadi ruang spiritual yang meredam ego, bukan menonjolkannya. Di sana, orang memberikan maaf, bukan sekadar menagihnya. Yang terpenting, mereka menjadikannya lebih dari sekadar ritual tahunan demi formalitas atau pencitraan.
Ajang Introspeksi, Bukan Eksistensi
Memaafkan dan meminta maaf bukan tren sesaat. Ia adalah laku hidup. Maka mari kembalikan ruh halal bihalal ke fitrahnya yakni menyambung yang jauh, mendekatkan yang renggang, menyembuhkan yang retak. Bukan untuk pamer status sosial, atau pencapaian duniawi.
Kita boleh datang dengan pakaian terbaik, tapi pulanglah dengan hati yang lebih bersih. Silahkan update kabar, tapi jangan lupa upgrade akhlak. Bolehlah kita posting, tapi pastikan yang utama adalah keikhlasan, bukan likes dan komentar.
Halal bihalal adalah warisan bijak bangsa ini. Jangan biarkan ia tercemar oleh budaya pamer dan pencitraan. Di tengah derasnya media sosial dan budaya serba instan, tradisi ini harus kita rawat dengan hati, bukan hanya tampilan. Karena sejatinya, halal bihalal bukan tentang siapa yang paling terlihat. Tapi siapa yang paling tulus














