Menggali Makna Seni sebagai Cermin Keislaman dan Peradaban Nusantara
Jombang, pcnujombang.or.id — Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2025, Panitia HSN PCNU Jombang menggelar kegiatan Tadarus Seni Budaya Islam pada Kamis (23/10/2025). Acara yang berlangsung di Museum Islam Indonesia K.H. Hasyim As’ari (MINHA) Tebuireng, Jombang ini dihadiri sejumlah tokoh lintas bidang: ulama, akademisi, seniman, dan budayawan.
Kegiatan tersebut menghadirkan Suwasis, S.Pd., M.M. (Kiwasis), Wakil Ketua Lesbumi PCNU Jombang sekaligus Ketua Yayasan Rebung Pringori; Dr. Abdur Rouf Hasbullah, dosen UIN Syekh Wasil Kediri yang juga mengajar di Madrasah Muallimin Muallimat Tambakberas Jombang; serta K.R.T. M. Mufid, S.Pd., M.Si., guru seni budaya di SMPN Nganjuk yang aktif di Paguyuban Budaya dan Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Hadir pula KH. Amin Yahya, Ketua RMI Jombang dan tokoh pesantren yang dikenal luas di kalangan santri.
Seni dan Budaya: Cermin Peradaban dan Jalan Menuju Ketuhanan
Dalam tadarus tersebut, para narasumber menggali hubungan antara seni, kebudayaan, dan nilai-nilai Islam yang berpadu dengan tradisi lokal.
Menurut Kiwasis, seni dan budaya merupakan wujud nyata peradaban manusia. “Dari seni, kita bisa membaca sejarah dan perkembangan peradaban pada masanya. Karena itu, perlu keseriusan dalam mengelolanya,” ujarnya tegas.
Sementara itu, Dr. Abdur Rouf Hasbullah menekankan bahwa seni merupakan ekspresi ruh yang mengandung dan mengungkap keindahan. Dalam pandangannya, keindahan (al-jamal) harus selaras dengan al-khair (nilai-nilai kebaikan) dan al-ma’ruf (tradisi yang tidak bertentangan dengan kebaikan).
Ia juga menyampaikan pentingnya mempelajari seni budaya Islam di tengah arus modernisasi dan digitalisasi. “Melalui tadarus ini, kita memperkuat identitas kultural Islam di tengah derasnya arus modernisasi. Seni adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah,” jelasnya.
K.R.T. M. Mufid menambahkan, peran seniman dan budayawan Muslim sangat penting dalam menjaga harmoni antara agama dan kebudayaan Nusantara. Ia menilai, keseimbangan antara keduanya menjadi kunci kelestarian nilai-nilai Islam di tengah masyarakat yang majemuk.
Santri Sebagai Pemberi Solusi dan Penjaga Tradisi
Dalam kesempatan itu, KH. Amin Yahya menegaskan bahwa santri memiliki tanggung jawab besar terhadap umat. “Santri harus menjadi pemberi solusi bagi masyarakat dan tampil sebagai pemenang. Jangan sampai rapuh menghadapi tantangan zaman,” pesannya penuh semangat.
Diskusi berlangsung interaktif dengan antusiasme peserta, terutama dari kalangan mahasiswa Unhasy dan Unwaha. Mereka menyoroti tantangan generasi Z yang cenderung menyukai hal-hal instan, serta mengangkat isu plagiasi dalam karya seni dan budaya.
Padahal, dalam seni — baik kaligrafi, tilawah, maupun seni Islam lainnya — untuk mencapai al-jamal (keindahan karya) tidak bisa dicapai secara cepat. Semuanya memerlukan kesabaran, ketekunan, dan istiqamah dalam proses belajar.

Pesantren: Merawat Tradisi dan Terus Berinovasi
Konsep al-Muhafadhah ‘ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadidi al-Ashlah menjadi pedoman penting bagi pesantren untuk merawat tradisi, seni, dan budaya Islam yang luhur agar tidak lekang oleh waktu. Di sisi lain, pesantren juga dituntut untuk terus berinovasi agar tetap eksis dan relevan di masa depan.
Dalam konteks ini, pesantren tidak hanya berperan sebagai benteng moral dan spiritual, tetapi juga menjadi pusat kreativitas dan transformasi sosial. Melalui kolaborasi antara ulama, akademisi, dan budayawan, pesantren mampu melahirkan gagasan-gagasan segar yang menjembatani nilai-nilai klasik Islam dengan tantangan zaman modern.
Dengan demikian, pesantren bukan hanya menjaga warisan, tetapi juga menyalakan obor pembaruan bagi generasi mendatang.

Acara dipandu secara hangat oleh Sadad Al Mahiri, Sekretaris Lesbumi PCNU Jombang sekaligus mantan Ketua Lakpesdam PCNU Jombang. Ia berhasil menjaga suasana diskusi tetap hidup dan inspiratif hingga acara ditutup dengan pembacaan doa oleh Dr. Abdur Rouf Hasbullah.














