Refleksi Hari Santri: Resolusi Jihad Belum Usai

Oleh: Ahmad Abdu Alghonii Chaniago
Mahasantri Semester 1 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

Menginjakkan kaki di pelataran Tebuireng sebagai santri baru adalah sebuah pengalaman spiritual. Ini bukan sekadar berpindah alamat melainkan sebuah hijrah. Ada getaran (haibah) yang berbeda di udara yang saya hirup.

​Saya merasa kecil. Bukan kerdil, tapi merasa menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari diri saya sendiri. Saya berdiri di atas tanah yang sama, tempat Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari pernah berdiri, berpikir, dan menggerakkan sejarah.

​Saya merenung. Dinding-dinding pondok ini adalah saksi bisu. ​Tebuireng bukan sekadar “pabrik” pencetak ahli fiqih atau ahli tafsir, namun juga sebagai kawah candradimuka tempat sanad keilmuan bersambung dengan sanad kebangsaan.

​Ketika Indonesia terancam, dari titik inilah Resolusi Jihad berkumandang. Sebuah fatwa yang mengubah pertempuran Surabaya yang awalnya hanya urusan militer, menjadi hal Fardhu ‘Ain.

Sebuah kewajiban suci membela tanah air, yang setara nilainya dengan membela agama itu sendiri.

​Para Kiai dan santri Tebuireng di masa lalu tidak hanya bergulat dengan I’rab nahwu atau qiyas ushul fiqh, melainkan bergulat pula dengan realitas bangsanya.

​Lalu, saya bertanya pada diri sendiri: Apa jihad kita hari ini? Jika jihad Mbah Hasyim dan para santri dahulu adalah mengangkat senjata melawan penjajah fisik yang terlihat mata, jihad kita hari ini jauh lebih rumit.

​Sekarang di “zaman serba fitnah” (seperti yang sering disebut). Musuh kita tidak lagi berwujud serdadu berseragam. Hoaks yang memecah belah, adu domba yang dibungkus retorika agama, dan banjir informasi yang menenggelamkan kebenaran (al-haq) dalam lautan kebatilan (al-bathil) kini menyerang kita sebagai musuh tak kasat mata.

​Di sinilah peran sejati santri diuji.
​Dalam pemikiran Imam Al-Ghazali, ilmu sejati adalah yang membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) dan membawa maslahat bagi umat (ishlahul ummah).

Baca Juga  Merefleksikan Tawadhu' di Tengah Kehidupan Pesantren

​Jika zaman ini adalah lautan yang keruh oleh fitnah, maka santri tidak boleh ikut menjadi keruh. Santri harus hadir sebagai filter penjernih.

​Peran sejati kita bukanlah menjadi influencer yang mengejar engagement dengan sensasi. Peran kita adalah menjadi penjaga akal sehat umat.

​Jihad kita hari ini adalah jihad al-lisan (jihad lisan) dan jihad al-qalam (jihad tulisan/pena/keyboard).

​Menjadi santri Tebuireng—atau santri di manapun—hari ini, berarti mewarisi tanggung jawab Resolusi Jihad itu dalam konteks baru:

Memerangi kebodohan dengan ilmu yang terverifikasi (tabayyun).
Melawan kebencian dengan akhlak yang menyejukkan.
Dan menjaga akal sehat bangsa di tengah riuhnya noise zaman digital.

​Kini saya baru memulai perjalanan. Ini bukan sekadar belajar membaca kitab kuning belaka, melainkan belajar membaca zaman juga.

Penulis: Ahmad Abdu Alghonii Chaniago

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *